PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia
adalah negara yang menjunjung tinggi etika moral dan rasa gotong royongnya. Ini
terbukti dari kerjasama para pejuang-pejuang Indonesia dalam
memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, Indonesia
mengalami reformasi-reformasi. Reformasi mengenai tatanan politik, ekonomi,
sosial dan budaya.
Reformasi
tersebut menimbulkan kerjasama Internasional. Indonesia berupaya menjalin
hubungan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, untuk memajukan dan
mensejahterakan rakyat Imdonesia. Dari kerjasama internasional tersebut,
Indonesia mengalami perubahan-perubahan modern atau modernisasi atau globalisasi dari
tahun-tahun sebelumnya.
Banyak
hal-hal baru yang masuk ke Indonesia, hal yang bersifat positif dan juga
negatif, baik dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya maupun masalah
agama. Hal-hal yang masuk ke Indonesia tersebut mempengaruhi pemerintah untuk
selalu berupaya meningkatkan pengaruh positif dan atau menghilangkan /
mengurangi pengaruh negatifnya. Pengaruh negatif dari proses globalisasi kini
dirasa sudah sangat meluas terutama masalah remaja yang hampir 80% pengaruhnya bisa
dirasakan dari semua pihak. Itu hanya sebagian kecil dari dampak globalisasi.
Dan yang masih hangat – hangatnya dibicarakan dari dampak globalisasi adalah
terjadinya global warming, efek rumah kaca, mencairnya es di kutub – kutub.
Kalau di bidang kebudayaan yang sekarang dialami para remaja kita saat ini yang
mencampuraduk budaya timur dengan budaya barat hal ini juga disebabkan karena
masih kurangnya pendidikan agama yang mendalam. Berdasarkan uraian diatas,
peneliti ingin membuat makalah tentang pengaruh – pengaruh globalisasi dalam
segala bidang diatas yang kami buat dengan judul :
“ Pengaruh Globalisasi Ditinjau dari Budaya, Moral dan
Agama”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
pengaruh globalisasi ditinjau dari aspek budaya ?
2. Bagaimanakah
pengaruh globalisasi ditinjau dari aspek moral ?
3. Bagaimanakah
pengaruh globalisasi ditinjau dari aspek agama ?
C. TUJUAN MAKALAH
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan
yang ingin dicapai dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari globalisasi.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh –
pengaruh yang terjadi pada bidang yang telah diuraikan di atas.
3. Untuk mendukung dan ikut serta berperan dalam
mengantisipasi / mengatasi masuknya pengaruh buruk dari globalisasi.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN GLOBALISASI/MODERNISASI
Modernisasi
dalam arti harfiah adalah proses menjadi masyarakat modern. Ini berarti proses
perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Modernisasi atau globalisasi adalah suatu gejala sosial yang dapat kita amati
tanda-tandanya dalam kehidupan masyarakat. Kita dapat melihat wujud proses
globalisasi tersebut dalam perkembangan masyarakat di dunia maupun di
Indonesia.
Menurut
J.W Schrool (1981), gejala globalisasi tidak bisa didefinisikan hanya dalam
satu atau dua kalimat karena gejala globalisasi meliputi banyak aspekkehidupan.
Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan globalisasi hanya kalau kita
mengenali berbagai aspek tersebut.
Dari
aspek ekonomi, gejala globalisasi dapat dilihat dari tumbuhnya kompleks
industri secara besar-besaran yang mengadakan produksi barang-barang konsumsi
dan barang-barang sarana produksi secara masal
Aspek
sosial gejala industri dapat dilihat dari tumbuhnya kelompok-kelompok baru
dengan posisi sosial dan ekonomi yang sama dan mempunyai semacam kepentingan
bersama. Kelompok-kelompok itu meupakan kelas-kelas sosial baru. Kaum budak,
kelas petani, penyewa tanah, dan buruh tani dalam masyarakat modern berkurang
jumlah dan perannya
Dari
aspek politik, gejala globalisasi dapat dilihat dari munculnya negara naisional
yang memiliki kekuasaan politik pusat. Kekuasaan politik pusat itu tidak
berhubungan dengan agama dan kepercayaan atau disebut sekularisasi. Globalisasi
juga terlihat dari bertambah luas dan banyaknya tugas-tugas
birokrasi pemerintahan negara juga dalam rasionalisasi organisasinya.
Dari
aspek budaya, gejala globalisasi dapat, dapat diamati dari gejala
munculnya sistem kepercayaan dan pandangan dunia yang berubah sifatnya dari
semula yang bersifat mistik dan magis menjadi lebih rasioanl. Bersama dengan
itu, terjadilah semacam sekularisasi. Hal itu berarti bidang-bidang kehidupan
yang berbeda , dan aktifitas-aktifitas yang penting sifatnya menjadi lebih
terpecah-pecah dan mandiri. Agama dan pandangan hidup juga berkurang
kaitannya dengan aktifitas-aktifitas sosial ekonomi dan politik.
Dari
uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa modernisasi atau globallisasi
mencakup banyak aspek kehidupan. Meskipun demikian, bukan berarti kita tidak
bisa memberikan pengertian globalisasi yang mencakup seluruh gejala tersebut.
Melihat aspek-aspek globalisasi diatas, kita dapat menyimpukan bahwa
modernisasi atau globalisasi tidak lain merupakan penerapan pengetahuan
rasional dan ilmiah terhadap semua aktifitas di semua bidang kehidupan atau
terhadap semua aspek masyarakat.
1. PENGARUH GLOBALISASI DITINJAU DARI ASPEK BUDAYA
Dalam
pranata Wikipedia, didapatkan arti dari pada budaya sebagai berikut: ”
budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan dengan hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia”. Sedangkan para ahli mengemukakan
pendapatnya masing-masing mengenai budaya. Menurut Edwar B. Taylor: ” Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,yang
didalamnya mengandung kepercayaan,kesenian ,moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan- kemampuan lain yang didapat seorang sebagai anggota masyarakat ”.
Sementara itu Selo Soemardjan dan Seelaiman Soemardi , menurut mereka ”
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat”. Dalam
definisi globalisasi menurut beberapa ahli, salah satunya
adalah Jan Aart Scholte mengatakan globalisasi adalah: ”serangkaian proses
dimana relasi sosial menjadi relatif terlepas dari wilayah geografis”.
Sementara bila mana menilik definisi budaya diatas, maka bisa diartikan bahwa globalisasi budaya adalah : ”serangkaian proses dimana
relasi akal dan budi manusia relatif terlepas dari wilayah geografis”.
Hal
ini memunculkan jalinan situasi yang integratif antara akal dan budi manusia
disuatu belahan bumi yang satu dengan yang lainnya. Sementara itu dalam
pandangan hiperglobalis mereka berpendapat tentang definisi globalisasi budaya
adalah: “homogenization of
the wold under the uauspices of American popular culture or Western consumerism
in general “. Ini berarti bahwa globalisasi budaya adalah
proses homogenisasi dunia dibawah bantuan budaya popular Amerika atau paham
komsumsi budaya barat pada umumnya.
Definisi
hiperglobalis tersebut, jika bisa disamakan dengan keanekaragaman istilah
globalisasi pada umumnya, yang salah satunya adalah Westernisasi. Dimana ada
penyebaran budaya barat terutama kebudayaan Amerika. Namu, jika dilihat lebih
lanjut, definisi dari hiperglobalis tidak bisa terlepas dari pada sifat-sifat
yang cenderumg mengandung pikiran ekonomi,berorientasi ekonomi.
Hal
itu jelas dapat dilihat dan dinilai dari penekanan paham konsumsi terhadap budaya Barat pada
umumnya. Jadi bisa juga diartikan bahwa, budaya barat adalah budaya yang
diperjualbelikan, sementara masyarakat dunia pada umumnya adalah konsumen yang
menikmati. Sehingga munculah kondisi dimana istilah Westernisasi digunaklan
sebagai simbolis terhadap sifat konsumerisme tersebut. Baik itu konsumsi
terhadap bentuk pemerintahan atau sistim politik, mekanisme pasar atau paham
ekonomi , bahkan hingga bentuk celana jeans atau
kebudayaan.
Dampak Globalisasi
Media Terhadap Budaya dan Prilaku Masyarakat Indonesia.
Globalisasi media massa merupakan proses
yang secara nature terjadi, sebagaimana jatuhnya sinar matahari, sebagaimana
jatuhnya hujan atau meteor. Pendekatan profesional menjadi kata kunci, masalah
dasarnya mudah diterka. Pada titik - titik
tertentu, terjadi benturan antar budaya dari luar negeri yang tak dikenal oleh
bangsa Indonesia. Jadi kehawatiran besar terasakan benar adanya ancaman,
serbuan, penaklukan, pelunturan karena nilai – nilai luhur dalam paham
kebangsaan.
Imbasnya
adalah
munculnya majalah-majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia seperti : Bazaar ,Cosmopolitan ,Spice,FHM, (for Him
Magazine) ,Good Housekeeping ,Trax, dan sebagainya. Begitu juga
membanjirnya program tayangan dan produk tanpa dapat dibendung. Sehingga
bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia menyikapi fenomena
traspormasi media terhadap prilaku masyarakat dan budaya lokal,karena
globalisasi media dengan segala yang dibawanya seperti lewat televisi, radio,
majalah, koran, buku film, vcd, HP, dan kini lewat internet sedikit banyak akan
berdampak pada kehidupan masyarakat.
Saat
ini masyarakat sedang mengalami serbuan yang hebat dari berbagai produk
poernografi berupa tabloitd, majalah, buku bacaan di media cetak, televisi,
rasio, dan terutama adalah peredaran bebas VCD. Baik
yang datang dari uar negeri maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media
pernografi bukan barang baru bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala
seluas sekarang. Bahkan beberapa orang asing menganggap Indonesia sebagai
”surga pornografi” karena sangat mudahnya mendapat produk-produk pornografi dan
harganya pun murah.
Kebebasan
pers yang muncul pada awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang tidak
bertanggung jawab, untuk menerbitkan produk-produk pornografi. Mereka
menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin sebagai hak asasi
warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan. Padahal dalam pasal
5 ayat 1 Undang-undang pers No 40 tahun 1999 itu
sendiri, mencantumkan bahwa: ”pers
berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat”.
Dalam
media audio visualpun ada Undang-Undang yang secara spesifik mengatur
pornografi yaitu Undang-undang perfilman dan Undang-undang Penyiaran. Dalam Undang-undang
perfilman
1992 pasal 33 dinyatakan bahwa : ”setiap film dan reklame film yang akan
diedarkan atau dipertujuklkan di Indonesia, wajib sensor terlebih dahulu”. Pasal
19 dari UU ini menyatakan bahwa : ”LSF
(Lembaga Sensor Film)harus menolak sebuah film yang menonjolkan adegan seks
lebih dari 50 % jam tayang”. Dalam UU Penyiaran pasal 36 ayat 6 dinyatakan
bahwa: ” isi siaran televisi dan radio
dilarang menonjolkan unsur cabul (ayat 5) dan dilarang merendahkan, melecehkan
dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia ”.
Padahal,
kita menyadari belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana
kita sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya banjir informasi dan budaya baru yang dibawa media tak jarang teramat asing dari
sikap hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah pornografi dimana sekarang
wanita–wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa yang dalam berbusana cenderung
minim,yang kemudian ditiru habis-habisan.
Sehingga kalau kita berjalan-jalan di mal atau di tempat publik sangat mudah menemui wanita Indonesia yang
berpakaian serba minim dan mengumbar aurat.Dimana budaya itu sangat
bertentangan dengan dengan norma yang ada di Indonesia.Belum lagi maraknya
kehidupan free sex di kalangan remaja masa kini.
Terbukti dengan adanya video porno yang pemerannya adalah orang-orang Indonesia.
Disini
pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh melihat perkembangan
kehidupan masyarakat Indonesia. Menghimbau dan kalau perlu melarang berbagai
sepak terjang masyarakat yabg berperilaku yang tidak semestinya. Misalnya
ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyarankan agar televisi tidak
merayakan goyang erotis denga puser atau perut kelihatan. Ternyata dampaknya
cukup terasa, banyak televisi yang tidak menayangkan artis yang berpakaian
minim.
Perubahan Budaya –
Budaya Daerah
Budaya – budaya daerah di Indonesia secara umum
memelihara prinsip hubungan sosial yang sangat diwarnai oleh ikatan sosial,
kolektifitas, solidaritas sosial yang sangat tinggi di antara anggotanya. Dalam
pola hidup masyarakat Indonesia kolektifitas dan komunalisme itu dapat dilihat
dalam berbagai macam bentuk kegiatan sosial, misalnya tercermin dalam tradisi –
tradisi sosial, gotong royong, upacara - upacara sosial keagamaan, dan ekspresi
kesenian yang sangat beraneka ragam.
Modernisasi
merupakan proses masuknya suatu kebudayaan baru yang datang dari
luar, terutama dari negara industri, yaitu budaya modern yang dibawa oleh
proses globalisasi. Globalisasi pada prinsipnya membawa aspek budaya modernitas
yang menjunjung tinggi prinsip rasionalitas, pemuasan hidup material, dan
individualisasi. Prinsip demikian itu ketika masuk kedalam sub budaya
masyarakat Indonesia akan bertemu dengan prinsip kolektifitas dan komunalisme
tersebut. Hubungan pengaruh mempengaruhi antara budaya modernitas dan
budaya-budaya lokal di Indinesia tidak bisa dihindari.
Sebagai contoh, kita
dapat melihat pengaruh televisi terhadap tradisi sosial masyarakat Indonesia
yang telah menyebabkan huubungan sosial yang kompak di pedesaan menjadi
terganggu. Seluruh anggota keluarga pedesaan sekarang berkumpul bersama
menonton televisi bersama. Mereka menyerap budaya global modernitas yang
ditunjkkan dalam gaya hidup dan perilaku pada film-film dari industri negara
maju. Contoh lain dari kehancuran adat istiadat dan tradisi budaya daerah
adalah dalam kegiatan pariwisata. Kegiatan pariwisata dapat disebit sebagai
pintu masuknya budaya gllobal modernitas, karena kegiatan pariwisata membawa
masuk turis asing kedalam masyarakat Indonesia. Turis asing yang datang dari
negara maju umumnya membawa budaya-budaya asing masuk kedalam komunitas budaya
lokal di Indonesia. Dengan semakin banyaknya turis asing di Indonesia, berarti
terjadi kontak-kontak budaya yang semakin intensif antara budaya global
modernitas dan budaya-budaya daerah.
Semua
itu merupakan bentuk dari pengaruh globalisasi terhadap perubahan-perubahan
budaya daerah di Indonesia. Kita dapat menemukan pengaruh semacam itu bukan
hanya di dalam kegiatan pariwisata atau media massa tetapi juga dapat kuita
temui di banyak aspek globalisasi seperti proses globalisasi ekonomi,
kapitalisme, individualisasi dan rasionalisasi hubungan-hubungan sosial
produksi di dalam masyarakat.
Masalah
Ketertinggalan Budaya Teknologi
Ketertinggalan budaya ini terjadi apabila
teknologi telah berkembang sedemikian pesat tetapi budaya perilaku dalam
mempergunakan teknologi tersebut ketinggalan jauh. Sebagai contoh adalah
perilaku anak muda dalam berlalu luntas. Teknologi kendaraan bermotor adalah
teknologi yang datang dari luar negeri. Di dalam penggunaan teknologi tersebut
ada tuntutan perilaku sosial terntentu yang harus dipenui, misalnya dalam cara
memakai, memelihara, dan merawat teknologi mesin.
Akan tetapi pada
umumnya orang tidak memperhatikan tuntutan perilaku tersebut dan hanya
mempentingkan penggunaannya. Akibatnya sering terjadi pelanggaran-pelnggaran
teknologi. Kendaraan yang mestinya harus digunakan dengan peralatan lengkap
tetapi peralatannya banyak dilepas sehingga sering terjadi kecelakaan.
Antisipasi Strategis Menanggulagi Dampak Negatif Globalisasi Budaya
Ketidakberdayaan
tradisi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya tidak boleh
dibiarkan begitu saja .Upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada
proses pembunuhan tradisi harus dilawan, karena itu berarti pelenyapan atas
sumber lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal.
Upaya-upaya
pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk didalamnya penghargaan nilai
budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan cinta tanah
air yang dirasakan semakin memudar dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam
kenyataannya didalam struktur masyarakat terjadi ketimpangan sosial, baik
dilihat dari status maupun tingkat pendapatan. Kesenjangan sosial yang semakin
melebar itu menyebabkan orang kehilangan harga diri. Budaya lokal yang lebih
sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit dicernakan sementara itu budaya
global lebih mudah merasuk.
Dalam
masyarakat terutama di daerah pedesaan , dikenal adanya opinion leader atau pembuka pendapat atau
tokoh masyarakat. Mereka mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
untuk bertindak laku dalam cita-cita tertentu. Menurut Rogers (1983): ”pemuka
pendapat memainkan peranan penting dalam penyebaran informasi. Melalui hubungan
sosial yang intim, para pemuka pendapat berperan menyampaikan pesan-pesan, ide-ide dan informasi-informasi baru kepada masyarakat”. Melalui
pemuka pendapat seperti tokoh agama, sesepuh desa, kepala desa, pesan-pesan
tentang bahaya media pornografi dapat disampaikan.
Tapi
yang lebih penting lagi adalah ketegasan Pemerintah dalam menerapkan hukum baik
Undang-Undang Pers, Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran secara
tegas dan konsisten disamping tentu saja partisipasi dari masyarakat untuk
bersama-sama mencegah dampak buruk dari globalisasi media yang kalau dibiarkan
bisa menghancurkan negeri ini.
Kemudian
hal yang tidak kalah pentingnya dalam menghadapi globalisasi budaya adalah
nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus dimatikan, tetapi
dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang
dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi
manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi
lokal yang dimiliki Indonesia, misalnya di Bali yang dikenal dengan ”Tri Hita
Karana”, yang mengajarkan pada masyarakat Bali, bagaimana harus bersikap dan
berperilaku yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan
keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan hidup.
Oleh
karena itu globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan
pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang
dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan
pengembangan budaya. Upaya memperkuat jati diri daerah dapat dilakukan melalui
penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib dan sepenanggungan
diantara warga sehingga perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan
perkuatan budaya daerah.
2. PENGARUH GLOBALISASI DITINJAU DARI ASPEK MORAL
Pengertian Moral
dalam Materi Pendidikan Kewarganegaraan
Pengertian moral, menurut Suseno (1998) adalah
ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga
masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah pendidikan
untuk menjadaikan anak manusia bermoral dan manusiawi. Sedangkan menurut Ouska
dan Whellan (1997), moral adalah prinsip baik-buruk yang ada dan melekat dalam
diri individu/seseorang. Walaupun moral itu berada dalam diri individu, tetapi
moral berada dalam suatu sistem yang berwujut aturan. Moral dan moralitas
memiliki sedikit perbedaan, karena moral adalah prinsip baik-buruk sedangkan
moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, hakekat
dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam
mematuhi maupun menjalankan aturan.
Ada beberapa pakar yang mengembangkan pembelajaran
nilai moral, dengan tujuan membentuk watak atau karakteristik anak. Pakar-pakar
tersebut diantaranya adalah Newman, Simon, Howe, dan Lickona. Dari beberapa
pakar tersebut, pendapat Lickona yang lebih cocok diterapkan untuk membentuk
watak/karater anak. Pandangan Lickona (1992) tersebut dikenal dengan educating
for character atau pendidikan karakter/watak untuk membangun karakter atau
watak anak. Dalam hal ini, Lickona mengacu pada pemikiran filosofi Michael
Novak yang berpendapat bahwa watak/ karakter seseorang dibentuk melalui tiga
aspek yaitu, moral knowing, moral feeling, dan moral behavior, yang satu sama
lain saling berhubungan dan terkait. Lickona menggaris bawahi pemikiran Novak.
Ia berpendapat bahwa pembentukan karakter/watak anak dapat dilakukan melalui
tiga kerangka pikir, yaitu konsep moral(moral knowing), sikap moral(moral
feeling), dan prilaku moral(moral behavior). Dengan demikian, hasil pembentukan
sikap karekter anak pun dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu konsep moral,
sikap moral, dan perilaku moral. Pemikiran Lickona ini mengupayakan dapat
digunakan untuk membentuk watak anak, agar dapat memiliki karater demokrasi.
Oleh karena itu, materi tersebut harus menyentuh tiga aspek teori (Lickona),
seperti berikut.
Konsep moral (moral knowing) mencakup kesadaran
moral (moral awarness), pengetahuan nilai moral (knowing moral value),
pandangan ke depan (perspective talking), penalaran moral (reasoning),
pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self knowledge).
Sikap moral (moral feeling) mencakup kata hati
(conscience), rasa percaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan
(loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (and
huminity). Prilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan (compalance),
kemauan (will) dan kebiasaan (habbit).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa pengertian moral/ moralitas adalah suatu tuntutan prilaku yang baik yang
dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep,
sikap, dan tingkah laku. Dalam pembelajaran PKn, moral sangat penting untuk
ditanamkan pada anak usia SD, karena proses pembelajaran PKn SD memang
bertujuan untuk membentuk moral anak, yaitu moral yang sesuai dengan nilai
falsafah hidupnya.
Kerusakan Moral Bangsa
Indonesia
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Penyebab rusaknya moral bangsa Indonesia :
1. Pengaruh Budaya Luar Ini adalah hal yang mungkin menjadi penyebab rusaknya moral bangsa Indonesia,tak dapat dipungkiri pengaruh budaya barat merusak moral bangsa ini.Sebagai contoh free sex dan pergaulan bebas masuk ke indonesia dari merangseknya budaya barat ke negeri ini.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Penyebab rusaknya moral bangsa Indonesia :
1. Pengaruh Budaya Luar Ini adalah hal yang mungkin menjadi penyebab rusaknya moral bangsa Indonesia,tak dapat dipungkiri pengaruh budaya barat merusak moral bangsa ini.Sebagai contoh free sex dan pergaulan bebas masuk ke indonesia dari merangseknya budaya barat ke negeri ini.
2. Kurangnya Agama Ini juga bisa menjadi sebab rusaknya bangsa indonesia.Jika agama yang kita miliki kuat maka tentu saja kita akan takut berbuat dosa.Sehingga tidak akan ada kejahatan atau paling tidak kejahatan akan sangat minim dalam negeri ini.Contohya saja jika para pejabat negeri ini memiliki landasan agama yang baik,maka apa berani dia memakan uang rakyat(Korupsi)?!
3. Salahnya Sistem Pendidikan Indonesia Ini juga bisa menjadi penyebab rusaknya moral di Indonesia. Sebagaimana anda tahu anak-anak menghabiskan banyak waktunya di dalam sekolah. Sayangnya sekolah sekarang hanya identik untuk mencari ilmu duniawi saja dan jarang ada yang sekolah yang juga mengajarkan aspek – aspek moral, Jikalau ada, porsinya sangat minim.
Ketiga hal diatas mungkin hanya penyebab yang Basic saja,masih banyak lagi penyebab-penyebab lain yang menyebabkan moral bangsa ini merosot. Jikalau penyebabnya secara detail dijelaskan dibuat sebuah buku mungkin buku tersebut akan sangat tebal. Tetapi untuk memperbaiki moral bangsa indonesia saya rasa cukup menghilangkan 3 penyebab diatas saja.
Jikalau pengaruh luar sudah berkurang,agama kita kuat
dan pendidikan juga mengajarkan aspek moral saya rasa moral bangsa indonesia
tidak akan serusak ini
Kasus demi kasus yang melibatkan tindakan
menyimpang para pemuda harapan bangsa tersebut tentu bisa menyesakkan para
orang tua yang sudah merasakan mengabdikan kehidupannya untuk membangun
Indonesia. Oleh karena itu kita memang harus menyadari bahwa bangsa ini sedang
menghadapi problem yang cukup serius di masa yang akan datang.
Di antara faktor yang dominan mempengaruhi tindakan menyimpang di kalangan para pemuda tersebut adalah tentang budaya materialisme yang beranak pinak dengan budaya konsumerisme. Generasi yang terlahir di era 1980-an adalah generasi yang terlahir kebanyakan dalam suasana ekonomi yang sudah baik. Artinya, di saat itu kehidupan ekonomi orang tua –kelas menengah ke atas– tentu sudah semakin banyak. Akibatnya anak-anak yang dilahirkannya semenjak kecil sudah merasakan kehidupan yang baik dari sisi ekonomi dan kesejahteraan. Akibatnya mereka tidak merasakan betapa sulitnya menghadapi kehidupan ini.
Generasi yang terlahir di era ini sudah menikmati kemajuan ekonomi masyarakat Indonesia. Ketika mereka bersekolah, maka mereka sudah naik turun mobil. Bahkan antar jemput semenjak Taman Kanak-Kanak (TK). Akibatnya mereka tidak merasakan betapa sulitnya untuk mencapai sekolah. Ketika mereka Sekolah Menengah Pertama, maka mereka sudah memakai sepeda motor. Dan kemudian ketika SMA dan kemudian ke perguruan tinggi, maka sudah menggunakan mobil sebagai transportasi harian. Makanya mereka tidak merasakan betapa susahnya pergi dan pulang ke sekolah.
Realitas ini sungguh sangat paradoks dengan generasi sebelumnya yang terlahir di era 1950-an. Mereka kebanyakan adalah generasi yang masih merasakan bagaimana susahnya sekolah. Saya masih ingat ketika SMP harus mengayuh sepeda pancal sejauh 15 kilometer setiap hari. Belum lagi jalanan yang sangat jelek. Jalan masih makadam untuk kebanyakan jalan di daerah kabupaten. Jalan beraspal adalah jalan yang antar provinsi.
Makanya tingkat kesulitan yang dialami oleh mereka juga
cukup besar.
Sebagaimana yang telah kita dengar dan baca di media, bahwa banyak anak muda yang terlibat di dalam tindakan yang menyimpang. Banyak pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya adalah mereka yang tergolong muda, yaitu usia antara 20-35 tahun. Masa ini sesungguhnya adalah masa keemasan bagi seorang anak manusia, sebab di saat inilah bangunan kehidupan tersebut diletakkan. Keberhasilan atau kegagalan kehidupan sudah bisa diduga di saat ini. Jika pemuda gagal merumuskan fondasi kehidupan di era ini, maka sudah bisa diduga bahwa kegagalan akan membayanginya.
Sebagaimana yang telah kita dengar dan baca di media, bahwa banyak anak muda yang terlibat di dalam tindakan yang menyimpang. Banyak pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya adalah mereka yang tergolong muda, yaitu usia antara 20-35 tahun. Masa ini sesungguhnya adalah masa keemasan bagi seorang anak manusia, sebab di saat inilah bangunan kehidupan tersebut diletakkan. Keberhasilan atau kegagalan kehidupan sudah bisa diduga di saat ini. Jika pemuda gagal merumuskan fondasi kehidupan di era ini, maka sudah bisa diduga bahwa kegagalan akan membayanginya.
Yang juga menyedihkan adalah ketika yang
melakukan tindakan menyimpang terutama dalam tindakan korupsi adalah para
pemuda. Sebagaimana kita pahami bahwa tindakan perilaku menyimpang ini terjadi
karena pengaruh budaya materialisme yang sangat mendalam. Mereka ingin
memperoleh kehidupan yang sejahtera dengan sesegera mungkin, sehingga melupakan
dimensi moralitas dan kepatutan. Jika ini yang kemudian menjadi pilihan bagi
generasi muda, maka masa depan Indonesia sungguh dipertaruhkan. Semua tentu
tidak ingin bahwa Indonesia akan memiliki nasib sebagai bangsa yang selalu
menjadi negara dengan tingkat korupsi yang luar biasa tinggi.
Terkait dengan hal ini, maka seharusnya semua elemen bangsa ini harus melakukan revitalisasi moralitas, sehingga ke depan akan didapatkan keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang.
Oleh karena itu, pendidikan karakter bangsa bagi generasi muda tentu sangat diperlukan, sehingga ke depan para pemuda memiliki tanggungjawab moral untuk membela dan membangun Indonesia yang lebih baik.
Dan sekarang ini keadaan politik di Indonesia tidak
seperti yang kita inginkan. Banyak rakyat beranggapan bahwa politik di
Indonesia adalah sesuatu yang hanya mementingkan dan merebut kekuasaan dengan
menghalalkan segala cara. Pemerintah Indonesia pun tidak mampu menjalankan
fungsinya sebagai wakil rakyat. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian rakyat yang
mengeluh, karena hidup mereka belum dapat disejahterakan oleh negara. Pandangan
masyarakat terhadap politik itu sendiri menjadi buruk, dikarenakan pemerintah
Indonesia yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat dengan baik.
Bagi mereka politik hanyalah sesuatu yang buruk dalam
mencapai kekuasaan.
Kesimpulan : Rakyat Indonesia belum merasakan kinerja yang baik dari pemerintah Indonesia, malahan membuat mereka memandang buruk terhadap politik itu sendiri. Selain itu, para generasi muda Indonesia haruslah diperkenalkan dengan politik yang sebenarnya, agar dikemudian hari mereka dapat menjadi generasi baru yang lebih bertanggung jawab.
Kesimpulan : Rakyat Indonesia belum merasakan kinerja yang baik dari pemerintah Indonesia, malahan membuat mereka memandang buruk terhadap politik itu sendiri. Selain itu, para generasi muda Indonesia haruslah diperkenalkan dengan politik yang sebenarnya, agar dikemudian hari mereka dapat menjadi generasi baru yang lebih bertanggung jawab.
Seperti yang di muat dalam pancasila khususnya sila
ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradap”. Dari pernyataan ini mengandung maksud
bahwa rakyat Indonesia diharapkan untuk hidup adil dan beradap. Untuk mencapai
masyarakat yang beradap di perlukan moral dan gaya hidup yang baik. Moral dan
gaya hidup bangsa Indonesia tercermin pada perbuatan-perbuatan rakyat Indonesia
itu sendiri khususnya para remaja sebagai generasi penerus sekaligus ujung
tombak bangsa Indonesia.
Langkah yang perlu diambil
bangsa Indonesia menghadapi persoalan bangsa pada era globalisasi dan memasuki
usia ke-63 adalah melakukan rekonstruksi moral secara total dengan membangun
kembali karakter dan jati diri bangsa (Nation and character building). Selain
melakukan rekonstruksi moral juga melakukan konsolidasi kebangsaan dengan
melaksanakan langkah strategi memperkuat komitmen kebangsaan dan bersama
membangun ke Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Dari uraian diatas, penulis berpendapat bahwa keadaan
moral dan gaya hidup remaja Indonesia saat ini telah telah mengalami kerusakan
dan perlu di perbaiki lagi. Sebab gaya hidup dan moral mereka sudah tidak
sesuai lagi dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Sehingga dari semua pihak yang terkait perlu membantu demi kesadaran dan
kebaikan generasi penerus kita.
3. PENGARUH GLOBALISASI DITINJAU
DARI ASPEK AGAMA
Pemaknaan mengenai agama sangat variatif
sehingga kebebasan sangat diagungkan, makna toleransi menjadi bergeser dari
pelajaran budi pekerti yang pada masa orde baru semuanya harus seragam, sama,
dan satu pemikiran bahkan bentuk tindakannya. Konsep globaliasai sangat
bertentangan dengan konsep masa orde baru yang semua dengan aturan dan
meng”harus”kan semua aspek dengan ketentuan pemimpin. Konsep globalisasi
memuculkan banyak lokal-lokal wisdom yang kemudian menjadi tren (globaliasai
budaya).
Pemaknaan agama
sangat erat dengan pemaknaan budaya, bahkan keduanya berjalan beriringan
sehingga ketika budaya itu sendiri telah mengalami globaliasai begitu pula
pemahaman agama.
Agama yang dikemukakan oleh EB Taylor (1832
– 1917) adalah religion is the belief in spiritual being” . Harun Nasution
menjelaskan agama sebagai
1.
Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2.
Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai
manusia.
3.
Mengikatkan diri pada satu bentuk hidup yang mengandung
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia.
4.
Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan
cara hidup tertentu.
5.
Suatu system tingkah laku (code of conduct) yang
berasal dari kekuatan gaib.
6.
Pengakuan terhadap adanya-kewajiban-kewajiban yang
diyakin bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7.
Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari
perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat
dalam alam sekitar manusia.
8.
Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang rasul.
Koentjaraningrat menyebut aspek kehidupan
beragama dengan komponen religi. Menurut Koentjaraningrat ada lima komponen
religi;
1. Emosi
Keagamaan
2. Sistem
Keyakinan
3. Sistem
Ritus dan Upacara
4. Peralatan
Ritus dan Upacara
5. Umat
Beragama
Definisi agama yang sangat multitafsir ini di
era globalisasi, karena informasi sangat mudah didapat tidak sedikit masyarakat
yang kemudian sudah terbiasa dari ajaran yang tatap muka baik melalui
pendidikan agama secara formal, informal, maupun nonformal akhirnya mempunyai
definisi sendiri dan menjalani hidupnya dengan apa yang diyakini. Pada
pengertian ini kemudian banyak sekali bentuk implembtasi agama yang condong ke arah
modernisasi diri mengikuti informasi apa yang telah individu itu dapatkan dan
yakini.
Bagi bangsa Indonesia
mengedealisasikan peranan agama dalam pembentukan budaya dan kepribadian bangsa
adalah wajar, karena agama memang memiliki akar yang kokoh dalam, hampir segala
untuk tidak menyebut seluruh subkultur yang ada di Indonesia, konon sejak zaman
dahulu kala. Dengan kata lain, bagi bangsa Indonesia agama telah menjadi salah
satu unsur yang paling dominan dalam sejarah peradaban kita, termasuk di
dalamnya era modern ini, dan bahkan diduga keras akan tetap berpengaruh di masa
depan.
Perubahan tentang
organisasi dan gerakan-gerakan agama dilihat dari perspektif teori sosiologis
merupakan salah satu diantara tipe studi agama. Dua bentuk lainnya adalah
pengkajian agama sebagai suatu problema teoritis yang bersifat sentral dalam
memahami tindakan sosial, dan agama dilihat dari pertautannya dengan kawasan
kehidupan sosial lainnya, sepertiekonomi, politik, dan kelas sosial.
Implementasi
Pemaknaan Agama dalam Masyarakat di era Globalisasi
1. Agama
Kristen (Protestan dan Katolik)
Pergeseran nilai-nilai yang didoktrin oleh agama
perlahan muncul dipermukaan salah satunya disebabkan oleh globalisasi.
Contohnya di lingkup keluarga seorang Peran Agama Dalam Era Globalisas dan
Modernisas serta Kaitannya dengan Ketahanan dan Peranan Keluarqa : Sudut Pandang
Agama Kristen yang diteliti oleh Dr. Alex Peat menjelaskan
bahwa adanya beberapa hal yang terjadi yaitu goncangnya lembaga perkawinan:
poligami, perceraian, kumpul kebo, kawin paksa, perkosaan, homophili;
meluruhnya cinta suami istri : egoisme, hedonisme, cara-cara machiavelis
(tujuan menghalalkan cara : abortus, sterilisasi paksa); faktor penghambat luar
keluarga: keadaan ekonomis, hukum, ledakan penduduk, keadaan sosio-psikologis
(struktur patriarki ke nuclear family, pandangan perceraian yang
permisif, komersialisasi seks).
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhan Yang Maha Esa. Pada pernyataan
tersebut tersirat bahwa perkawinan bukan kebahagiaan tetapi kesatuan dengan
ikatan lahir batin antara suami-istri dalam membentuk keluarga, untuk itu
suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangakan kepribadiannya mencapai kesatuan sejati dalam perkawinan.
2. Agama
Islam
Salah satu contohnya adalah pergeseran makna dan
pelaksanaan pesantren dalam kehidupan modern. Pesantren bukan lagi merupakan
lembaga yang mengajarkan khusus nilai-nilai agama namun juga mata pelajaran
umum sama dengan lembaga pendidikan yang lain. Sejalan dengan globalisasi
dengan kemajuan teknologi, pesantren juga berkembang agar bisa diterima oleh
masyarakat luas. Tidak hanya pelajaran salafi namun juga pelajaran global
sehingga para santri dipersiapkan untuk menjalani kehidupan global dengan
cara-cara lokal. Think globaly act localy sering
digembor-gemborkan untuk membentuk identitas baru masyarakat pesantren di era
globalisasi.
Dampak hal ini
bersifat positif dan negatif. Pada pesantren yang telah menerima ilmu-ilmu baru
maka santrinya akan mempunyai wawasan luas sehingga muncul sikap kritis dan
motivasi yang tinggi untuk hidupnya. Kegagalannya apabila nilai agamanya tidak
berkembang cepat dengan ilmu sains nya maka pembentukan moral yang sesuai
dengan ajaran agama tentunya akan terdominansi oleh ajaran sains yang terkadang
tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut khusunya nilai-nilai dalam agama
Islam.
3. Agama
Hindu
Salah satu masyarakat yang mayoritas beragama
Hindu adalah di pulau Bali, dahulu masyarakat sangat kental dengan sistem
kasta. Akan tetapi dengan adanya pengaruh globalisasi dan modernisasi maka
perlahan sistem kasta mulai tidak diberlakukan lagi, dan ada
kelonggarn-kelonggaran. Contoh lain yaitu ketika ada upaca peringatan hari
Imlek di Candi Borobudur, dimana seharusnya upacara itu berjalan hikmat, akan
tetapi seiring berkembangnya jaman ada nilai-nilai yang bergeser dalam prosesi
upacara tersebut, misalnya banyak pengunjung yang mendokumentasikan upacara
tersebut untuk kepentingan ekonomi sehingga upacara tersebut menjadikan
berkurangnya nilai kesakralan dari prosesi upacara tersebut. Contoh lain yaitu
adanya konflik Homo-Aiqualis dan Homo-hierarchicus. Kelompok Homo-Aiqualis
dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis,
tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak kelompok Homo-hierarchicus
dengan segala upaya mempertahankan status quo hierarki tradisionalnya. Dari
sini kita melihat bahwa kelompok Homo-Aqualis telah terpengaruh oleh
prinsip-prinsip demokrasi karena adanya.
4. Agama
Budha
Agama ini mengajrkan bahwa seseorang harus
menemukan pengertian tentang kehidupan meski tak dapat diungkapkan dengan
kata-kata.Seorang rahib dapat menghabiskan seluruh waktu hidupnya dengan
melakukan meditasi yang menggunakan sebuah kalimat atau kata yang disebut koan.Koan adalah
suatu teka-teki yang tidak mempunyai jawaban yang populer adalah “suara apakah
yang timbul dari bertepuk sebelah tangan? Orang-orang Buddha Zen sering membuat
taman-taman yang indah sebagai alat bantu untuk melakukan meditasi. Pergeseran
yang ada di dalam agama Buddaha karena adanya pengaruh globalisasi yaitu adanya
pergeseran nilai kebenaran. Dimana norma dan nilai-nilai mulai dilanggar,
contohnya saja pergaulan yang ada di masyarakat khususnya muda-mudi yang
melanggar norma asusila dan tidak lagi mengindahkan aturan-aturan yang berlaku.
5. Agama
Konghucu
Konghucu mengajarkan bahwa surga dan bumi
menjadi harmonis jika semua orang mematuhi mereka yang berada
di atas dan membagi dengan pantas kepada mereka yang berada di bawah. Berkenaan
dengan masyarakat hierarkis yang benar maka anak laki-laki harus patuh kepada
ayah, istri, harus patuh kepada suami, rakyat harus patuh kepada kaisar, dan
kaisar harus mematuhi surga.
Globalisasi
mempengaruhi sebuah proses asmilasi, dan asimilasi memberikan dampak pada
pergeseran nilai-nilai pada kehidupan beragama ajaran konghucu, dapat dilihat
pada perayaan Cap Go Meh yang merupakan festival lampion dan pesta
onde-onde. Perlahan-lahan, ciri ini mendapat bentukanya dalam konteks budaya
Indonesia. Pesta onde-onde mulai bergeser dan digantikan dengan makan lontong
atau ketupat. Sebuah proses budaya sekaligus menunjukkan bahwa etnis Tionghoa
telah mengakar dapat budaya Indonesia. Pesta lampion masih terjadi di beberapa
daerah, tetapi itu sebatas pada tempat-tempat tertentu. Pesta lampion ini
cenderung bergeser menjadi sebuah perayaan atau lebih tepat disebut sebagai
gelar budaya. Dari sebuah perayaan yang berpusat di tempat ibadat bergeser ke
ruang publik. Sadar atau tidak sadar, pergeseran tempat ini pun membawa sebuah
pergeseran nilai. Ketika sebuah perayaan diadakan di sebuah tempat ibadat maka
nilai religiusnya menjadi semakin kuat. Ketika perayaan mulai bergeser ke area
pubik, maka nilai religiusnya menjadi semakin berkurang. Sebuah perayaan yang
dilangsungkan di tempat publik maka menjadi milik publik. Siapa pun bisa ikut
menikmatinya tanpa takut terjebak pada nilai religius yang dihayatinya.
Peranan dan Tantangan
Agama dalam Sains dan Teknologi
Hubungan antara agama dan sains dalam sejarah
peradaban manusia sangatlah erat. Hubungan ini sangat penting karena peradaban
umat manusia tidak lepas dari pergumulan berbagai nilai, termasuk nilai sains
dan agama. Setiap ada penemuan baru dalam sains, selalu menimbulkan gejolak
tertentu dalam masyarakat beragama karena mereka belum memiliki perangkat baru
untuk menyesuaikan diri dengan penemuan tersebut, sementara perangkat dan
nilai-nilai lama belum siap untuk berubah. Benturan antara nilai-nilai baru
dengan nilai-nilai lama tidak saja menimbulkan gejolak, tetapi sekaligus menimbulkan
kebingungan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Gejolak antara sains dan agama terjadi pada era
renaisans. Gereja pada masa pertengahan sangat berkuasa dan dominan, tidak saja
dalam lapangan agama, tetapi juga dalam lapangan ilmiah. Tradisi ilmiah yang
sebenarnya tidak baku dan statis menjadi sakral dan tidak boleh diubah. Oleh
karena itu, ketika Nicolaus Copernicus dan Galileo menemukan teori bahwa bumi
itu pusat jagad raya, tetapi mataharilah yang merupakan pusat jagad raya,
kalangan gereja sangat marah karena teori tersebut bertentangan dengan doktrin
“ilmiah” gereja. Ketegangan ini rupanya merupakan cikal bakal sekulerisme di
Barat. Agamawan berjalan menurut kebenaran dan doktrin gereja, sedangkan
ilmuwan berjalan sesuai dengan struktur dan ukuran rasional empiris. Akibatnya
antara agama dan ilmu tidak akan bersinggungan, sehingga sains di Barat menjauh
dari agama. Dari sini muncul semboyan sains, atau sains yang bebas nilai.
Menurut Harun Nasution, pemakaian sains tidak dikontrol oleh agama. Sains
dikembangkan demi sains tanpa mengindahkan kerusakan yang dibawanya
kemasyarakat, menurut para saintis, bukanlah urusan mereka, tetapi itu adalah masalah
kaum agama dan moralis.
Padahal kaum agama
dan moralis di Barat boleh dikatakan tidak ada pengaruhnya lagi. Seiring dengan
kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama secara
berangsur-angsur juga bergeser bahkan berseberangan dengan ilmu. Bagi sebagian
ilmuan di Barat agama di anggap penghalang kemajuan. Mereka beranggapan, jika ingin
maju, agama tidak boleh lagi mengurusi masalh-masalh yang berkaitan dengan
dengan dunia, seprti politik dan sains. Para pemikir dan saintis sering
mengemukakan nada minor terhadap agama, baik pada awal munculnya era
industrialisasi maupun pada dekade belakangan ini. Karl Marx terkenal dengan
pernyataanya bahwa agama adalah candu masyarakat. August Comte menyatakan bahwa
agama hanya cocok untuk masyarakat yang masih primitif dan terbelakang.
Sekarang, menurut
Comte, adalah era positivisme, yang semua kejadian dapat diukur dan diterangkan
dengan rasional. Bahkan para saintis suatu saat berpendapat bahwa pencarian
untuk menemukan ‘kebenaran’ akan membawa suatu kecenderungan utama untuk menyembah
sains ketimbang agama.
Kecenderungan ini
memuncak pada filsafat sekuler ‘Tuhan sudah mati’ yang diungkapkan oleh teolog
radikal Thomas J.J Altizer di tahun 1960 dan 1970-an. Sekarang, dengan
pandangan milenium, kekuatan kecenderungan berbalik, menuju kebangkitan agama
dan menyangkal kepercayaan yang buta terhadap sains dan teknologi. Menurut B.R
Wilson, agama terlibat sedikit dalam masyarakat. Namun, dia mengakui terlalu
pagi untuk mengatakan bahwa masyarakat modern dapat berfungsi tanpa agama.
Sementara itu, Sultan Takdir Alisjahbana, berpendapat bahwa dalam era globalisasi
dan informasi yang semakin terbuka, agama dapat memerankan diri dalam bidang
moral dan etika. Sebab, agama selalu mengaitkan segala aktivitas mansia kepada
keadaan kekudusan Tuhan dan memberikan kepadanya perasaan kekecilan dan
penyerahan.
Menurut harun
Nasuition, Agama dan sains mengahdapi persoalan yang cukup rumit ketika
berhadapan dengan situasi dimana perkembangan zaman berjalan begitu cepat. Satu
sisi sins di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari jiwa agama,
sehingga yang terjadi adalah sains yang sekuler. Sebaliknya, di Timur
masyarakatnya taat beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk
‘sekulerisasi’ juga dalam umat beragama. Harun Nasution memberikan alternatif
untuk mangatasi persoalan tersebut. Pertama, menyesuaikan
filsafat dan sains sekuler dengan ajaran dasar agama, sehingga yang berkembang
di dunia bukan filsafat dan sains yang sekuler, tetapi filsafat dan sains yang
agamis. Kedua, mengutamakan pendidikan moral umat beragama, di
samping pengajaran ibadat dan syariat, sehingga tercitalah umat yang berakhlak
mulia.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak globalisasi kenyataannya sangat
berpengaruh terhadap prilaku dan budaya masyarakat Indonesia dimana fenomena peng- globalan dunia harus disikapi dengan
arif dan positif thinking karena globalisasi dan modernisasi sangat diperlukan dan
bermanfaat bagi kemajuan. Namun kita tidak boleh lengah
dan terlena, karena era keterbukaan dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh
negatif yang akan merusak budaya bangsa.
Menolak globalisasi bukanlah
pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahwan dan
teknologi. Akan tetapi perlu kecerdasan dalam menyaring efek globalisasi. Akses
kemajuan tehnologi informatka dan komunikasi dapat
dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal.Jati
diri daerah harus terus tertanam dijiwa masyarskat Indonesia, serta harus
terus, meningkatkan nilai-nilai keagamaaan.
SARAN
Maka dengan pembuatan makalah ini pengetahuan kita pasti
sudah bertambah mengenai pengaruh globalisasi yang ditinjau dari budaya, moral
dan agama.
Kita sebagai remaja terpelajar harus bisa menyaring pengaruh-pengaruh
globalisasi yang masuk kelingkungan masyarakat berdasarkan pancasila dan agama.
Dengan begitu kita bisa menghadapi dampak globalisasi yang bersifat buruk bagi
kita.